"Apa? Ada hubungan apa?" tanyaku sekali lagi karena yang ditanya hanya mematung.
"Aku udah ngasih semuanya buat kamu...," sambungku "semuanya...,"
Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar. Aku menangis sejadi-jadinya karena sudah tidak mampu lagi membendung apa yang aku rasakan. Rio memelukku tetapi aku menolaknya. Aku lari kearah pintu, hendak pergi tapi dicegahnya.
"Dengerin aku dulu," katanya
"Gue mau pulang!" seruku setengah berteriak.
Aku mengambil handphone ku kemudian membuka aplikasi ojek online dan memesannya. Pada saat itu, aku muak. Aku tidak mau melihat wajahnya, tidak mau disentuh olehnya, tidak mau diantarnya pulang.
"Jangan begini, Sekar." katanya. "Aku anter kamu pulang ya," Aku mengacuhkannya.
Aku pulang dengan perasaan yang sulit ku ceritakan. Setelah mengabari Ika bahwa aku tidak jadi datang kerumahnya, aku mematikan handphone. Aku berusaha sekuat tenaga menahan tangis. Saat itu, aku berharap itu semua hanya mimpi, dan kemudian aku terbangun dengan keadaan yang baik-baik saja.
Tak perlu kuceritakan bagaimana keadaanku sesampainya dirumah. I look like a mess, like really mess. Apalagi, Rio hanya bisa minta maaf. Pada pesan singkatnya ia bercerita bahwa akhir-akhir ini sebenarnya ia sangat membutuhkanku, namun aku lebih memilih berjarak. Kemudian, ada seseorang yang benar-benar memperhatikan dan menemaninya, bahkan sampai pukul 5 pagi karena memang ia sedang banyak kegiatan dengan jurusannya. Dan perhatian perempuan itu sangat mengambil hatinya dan kemudian membuatnya berpaling, walaupun ia mengaku, ia selalu berharap bahwa perempuan itu aku, entah benar atau tidak.
Terjawab sudah semua pertanyaan yang aku ajukan di awal Desember. Mengapa ia berubah, mengapa ia tidak seperti dulu, mengapa keadaan kami terkesan dipaksakan, mengapa percakapan itu muncul, mengapa ia terlihat ragu akan dirinya, maupun akan aku? Terjawab sudah pertanyaan itu semua, dan jawabannya hanya satu. Karena ia menemukan tempat yang baru dan belum berani melepasku.
Kalau sudah begini, aku tanya ke kalian, yang salah siapa?
Kuceritakan dulu perihal perempuan yang sudah datang dengan tanpa rasa bersalah, menghancurkan apa yang sudah kubangun mati-matian. Perempuan ini satu angkatan dengan Rio di jurusannya. Dulu, ketika Rio belum jadian denganku, perempuan ini pernah mengajak Rio selfie lalu mengunggahnya baik di Instagramnya maupun di Instagram Rio. Aku masih punya buktinya kalau kalian mau tau. Di benakku ketika aku tau Rio memiliki hubungan dengan perempuan ini adalah perempuan ini memang sudah memiliki rasa sejak dahulu. Melihat aku dan Rio lengah, kemudian ia masuk dan memanfaatkan kesempatan itu untuk setidaknya dapat merasakan sedekat itu dengan Rio. Menurutku, perempuan ini adalah tipikal perempuan yang memang dekat dengan banyak orang. Entah supel entah lenjeh.
Perempuan ini berkerudung. Tetapi sama sekali tidak menunjukkan etika baiknya sebagai perempuan baik-baik. Silakan kalian mencaci makiku. Tapi, kutanya lagi kepada kalian apabila kalian perempuan, apa kalian mau didekati oleh laki-laki yang masih berstatus pacar orang? Kalau memang laki-laki itu mengaku sudah putus dengan pacarnya, apa kalian percaya begitu saja? Apalagi di Instagram laki-laki itu masih ada foto ia dengan pacarnya. Bagaimana? Perempuan yang pintar pasti akan meng-crosscheck apakah benar laki-laki itu sudah tidak ada hubungan dengan pacarnya, dengan tujuan untuk melindungi beberapa perasaan, termasuk didalamnya perasaannya sendiri.
Kalau perempuan itu memiliki intelektual yang baik, ia tidak akan dengan mudahnya menerima Rio mendekatinya. Bahkan, kalau ia masih punya harga diri yang tinggi, ia tidak akan mau berurusan sejauh itu dengan Rio, tapi ini tidak. Ia mau saja berhubungan tanpa status dengan harapan yang sangat tinggi: yaitu mendapatkan Rio seutuhnya! hah, you joking.
Senin, 19 Desember 2016
Aku berangkat kuliah dengan gontai. Pikiranku bercabang 1000 antara skripsi, dan hubunganku dengan Rio. Aku belum secara resmi memutuskan harus diapakan hubungan ini karena belum bertemu dengannya. Aku menceritakan semuanya kepada sahabat-sahabatku di salah satu gasibu di kantin kampus dan tepat sekali, disaat yang bersamaan, tempat duduk sebelah kami diisi oleh perempuan itu: x, dan teman-temannya. Aku sadar, aku bukan lagi anak SMA yang dengan bar-bar menarik kerudungnya karena telah merebut pacarku, meskipun aku punya hak untuk itu. Walaupun aku sangat ingin melakukannya. Ingin sekali rasanya aku mencaci makinya didepan orang banyak. Tetapi, aku masih punya hati nurani sehingga pada akhirnya yang aku dan teman-temanku lakukan hanya mengamatinya secara terang-terangan.
"Kaya mbak-mbak, kar,"
"Aduh ya jauh bgt kali sama lo,"
"Bilang kek sama Rio kalo cari selingkuhan yang cakepan dikit,"
Itu tiga dari sekian banyak caci maki yang mereka lontarkan untuk x, sisanya aku lupa. Oh iya, Rio mengirim pesan untukku sejak pagi, namun baru kubalas pukul 2 siang. Ia bilang ia hendak mengantarku pulang dan membicarakan masalah ini dirumah. Aku menyanggupi karena aku ingin segera menyelesaikan masalah ini, entah apapun caranya. Baik itu berpisah maupun kembali bersama. Aku tidak suka berada di posisi yang terombang-ambing.
Pukul 17.00 ia baru selesai kelas dan mengerjakan tugas. Ku iyakan saja supaya cepat. Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak membuka percakapan, kalau ia, sesekali melemparkan lelucon seperti biasa, tapi aku tidak tertarik untuk tertawa.
Sesampainya dirumahku, entah bagaimana kami membuka percakapan, tetapi aku sangat ingat bahwa aku melontarkan pertanyaan ini untuknya.
"Dari kapan semua ini?"
"Awal Desember,"
"Siapa duluan?"
"Dia. Kita emang udah deket gitu dan sering ngobrol. Terus tiba-tiba dia ngechat 'Selamat tidur' terus keterusan sampe kemarin. Itu juga jarang-jarang banget aku balesnya,"
"Kamu sayang sama dia?"
"Gatau Sekar, aku bingung,"
Aku senyum, sudah lebih dari paham.
"Kita udahan aja ya Rio," kataku, "Aku egois, aku ga suka kamu deket sama orang lain. Kalo kamu tetep mau sama aku, ya aku maunya emang cuma ada aku," sambungku.
"Aku mau usahain kamu, Sekar," tuhkan. Sudah kubilang Rio tidak akan mau aku menyudahi hubungan -_-
"Tapi kamu ga mau ninggalin dia,"
Rio diam. Kemudian ia berkata
"Aku mau ngeyakinin kamu, aku mau tetep sama kamu,"
"Silakan coba," kataku, menantang.
"Tapi kalau sekali lagi kamu kayak gitu, aku ga segan-segan ninggalin kamu,"
Pada saat itu, aku malas melihat handphone-nya, kesempatan kedua kuberikan benar-benar atas dasar kepercayaan dan kesadaran dirinya. Walaupun, hari itu, aku belum merasa ia akan benar-benar berjuang.
Selasa, 20 Desember 2016
Pukul 13.00. Aku berada dirumah Rio. Bukan, bukan untuk bertemu dengannya, melainkan mamanya. Aku menceritakan semua kejadian kemarin ke mamanya. Aku pikir, akan lebih baik jika aku memberi tau mamanya apa yang sudah anak lelaki sulungnya perbuat.
"Jadi gitu, tante...,"
"Beneran, Sekar?"
"Iya, beneran, coba aja nanti tante tanya pelan-pelan,"
"Emang iya sih, akhir-akhir ini juga tante sering ga dirumah, ketemu dia kalo malem aja. Mungkin memang dia lagi butuh perhatian karena tante juga lagi ga terlalu sering ketemu...,"
"Rio tuh orangnya sukanya di sayang, dari kecil karena jaraknya jauh sama adiknya, dia jadi ngerasa anak tunggal, dia selalu suka dan minta diperhatiin sama orang,"
"Tapi setau tante nih ya, Rio ga pernah macem-macem urusan yang ini...,"
"Dulu pas SMP ada anak cewek dateng kesini nangis-nangis katanya pacarnya Rio terus Rionya cuek,"
Aku tertawa
"Terus pas Rionya pulang, dia bilang 'apaan dia bukan pacar kakak io, ngaku-ngaku',"
"Yang tante liat dari dulu, dia paling ribet pas pacaran sama Sekar. Kalo mau jalan, selalu bilang 'Mah, bantuin pilihin baju, mau jalan sama Sekar,"
"Tante tau, mana yang dia sayang mana yang engga. Dari dulu nih ya, banyak yang deketin Rio, bilang suka, tapi tante ngga pernah ngeliat dia segininya sama perempuan, ya cuma sama Sekar,"
"Mungkin ya emang khilaf, atau emang lagi ujian, sekarang tante mah gimana kalian berdua aja kan yang ngejalanin kalian, kalo Sekar udah ga mau maafin, yaudah tante ga bisa apa-apa juga kan,"
"Tapi nanti coba tante tanyain pelan-pelan." Cerita mamanya, panjang lebar.
Mungkin keputusanku untuk cerita ke beliau merupakan salah satu keputusan terbaik, karena beliau adalah pendengar yang baik. Usia yang tidak terlalu jauh denganku membuatnya mengerti apa yang kumaksud dan sedikit demi sedikit aku memaafkan Rio. Malah, beliau banyak bercerita tentang Rio dan masa kecilnya. Membuatku sedikit lupa akan masalahku dengannya.
"Tante, Sekar disini dulu ya sampe Rio pulang,"
"Iya dong biar pulangnya dianter,"
"Hehe, iya tan,"
Aku menghubungi Rio melalui pesan singkat.
"Aku dirumah kamu," kataku, melalui sms.
"Hah? Ngapain?"
"Ketemu mama. Bantuin mama, cerita-cerita sama mama,"
"Nyeritain apaa? Aku masih kelas,"
"Banyak deeh. Masih lama kelasnya?"
"Engga sih, tapi aku mau ngerjain tugas. Sama nanti aku mau ke Museum nihhh udah H-1 harus beres-beres,"
Aku memutar bola mata. Pasti lagi-lagi sama perempuan itu. Oh iya, Rio sedang mengadakan pameran di salah satu Museum di Jakarta. Semacam proyek akhir untuk salah satu mata kuliahnya. Hal itu merupakan salah satu yang membuat ia akhir-akhir ini dekat dengan jurusan, malah cenderung terlalu dekat kalau mengingat dulunya ia adalah seseorang yang apatis. Seharusnya dari dulu aku sudah sadar akan hal itu karena sebelumnya ia tidak pernah sedekat ini dengan jurusannya. Dan sampai detik ini, sampai hari ini aku menceritakan kembali cerita ini, aku sangat tidak menyukai pameran itu. Dan Museum itu.
"Oh gitu, aku pulang duluan deh ya,"
"Eh jangan, tunggu aku pulang. Jangan pulang sebelum aku pulang."
Aku menurut saja. Siapa tau ia memang sudah berubah dan mau menunjukkan itikad baik.
Ia datang sudah hampir mau pukul 19.00 dan harus segera ke Museum bersama teman-temannya. Akhirnya aku diantarnya ke Stasiun Pondok Cina.
Sesampainya dirumah, aku bertanya kepadanya melalui sms.
"Udah sampe? Tadi ada yang nebeng ga?
"Iya baru sampe nih terus langsung disuruh angkat-angkat, adaaa yang nebeng,"
"Siapa?"
"Nanti kalo aku jawab kamu marah huhu maafin aku. Tadi sisa dia doang,"
"Kebetulan yang aneh ya, haha,"
Setelah itu kuputuskan tidak lagi menghubunginya karena aku sadar satu hal. Ia belum berubah.
to be continued.
0 comments:
Post a Comment