Kamis, 22 Desember 2016
Ada bombardir pesan di handphone-ku. Dari Rio.
"Sekar maafin aku ya buat akhir-akhir ini yang sangat menyebalkan buat kamu,"
"Aku boleh numpang cerita ga? Boleh yah ehe soalnya gatau mau cerita ke siapa lagi,"
"Aku kemaren seleksi tahap 1 di my futsal kebayoran, nah ternyata aku lolos buat tahap 2 hari ini, tapi krn aku bolak-balik 2 hari tanah abang - depok, dan semalem tuh malem bgt sampe sininya, aku drop bgt kondisinya nih aku takut tipes deh,"
"Sebenernya aku mauuu bgt ikut seleksi lg tahap 2 soalnya belum tentu dapet rezeki kaya gitu lagi huhu tapi aku sedih krn kayanya kondisi aku ga memungkinkan bgt buat aktifitas berat huhu sedih bgttt:("
"Maaf ya aku rasa kamu ga mau dan ga perlu tau siih tapi aku bingung mau cerita ke siapa,"
"Sekar aku kangen sama kamu,"
"Tapi maafin aku belum bisa nemuin kamu, Tuhan sedang menunjukkan kasih sayang-Nya ke aku,"
Ingin sekali rasanya membalas semua smsnya dengan satu kata: 'Mampus!' Tapi tetap saja aku tidak sampai hati. Bagaimanapun statusnya masih pacarku. Aku sedang dikampus dan menunjukkan sms-sms itu ke temanku, Dita. Responnya lucu, "Emang gitu sih, kar, biasanya kalo lg sakit yang dicari bini tua. Kalo lagi seneng-seneng bini muda,"
Aku mau tertawa tapi miris.
Akhirnya aku menelepon Rio dan menanyakan keadaannya. Aku lupa aku membicarakan apa saja yang jelas (kedengarannya) ia membutuhkanku.
Jumat, 23 Desember 2016
Aku memutuskan pergi kerumahnya. Salah satu yang menjadi alasanku pergi kesana adalah karena Sabtu hingga Senin aku akan ke Bandung sehingga tidak bisa bertemu dengannya. Dan bukan karena apa-apa, aku hanya ingin berbuat baik.
Hari itu berjalan seperti biasa. Seperti kami sedia kala. Aku tidak tau apakah akan terus begitu atau tidak, yang jelas aku senang.
Tetapi tidak.
Ketika aku pergi ke Bandung, kami tetap komunikasi melalui messenger, tapi keadaannya sama sekali tidak nyaman. Kami saling menyalahkan satu sama lain, bertengkar, dan berdebat tiada akhir.
Sudah kubilang Senin lalu bahwa aku belum yakin ia akan berjuang untukku. Nyatanya memang benar, selama ia masih kuliah, ia akan masih berurusan dengan perempuan itu. Tapi Jumat kemarin, aku hanya ingin berbuat baik, aku ingin menunjukkan bahwa aku masih menyayanginya, Dan sedang berusaha untuk tetap merangkulnya dengan memaafkan semua kesalahannya. Tetapi nampaknya, usahaku belum cukup, apabila dilihat dari apa yang kami debatkan saat itu.
Aku teringat percakapan antara aku dengannya ketika dirumahku,
"Dari awal aku bilang, kalau udah ga sayang, ngomong, bilang langsung ke aku. Bukan kaya gini caranya, dengan ngasih 1000 alasan yang beda-beda, yang bikin aku ngerasa jadi orang yang paling salah kemudian aku ngerasa ga pantes dan lebih milih mundur. Sementara kamu dibelakang kaya gini, ini lebih sakit tau. Kalau mau sama dia gapapa sama dia aja, dari dulu jg aku bilang kalo ada yg bikin kamu nyaman, yaudah. Kaya gini tuh kamu matiin aku pelan-pelan, tau ga, Rio?"
"Sama sekali bukan karena aku mau ngelepas kamu, Sekar. Tapi awalnya emang karna aku ngerasa kamu ga berperan banyak akhir-akhir ini sementara aku butuh kamu. Dan aku tau kamu lagi sibuk dan aku ga mau jadi beban buat kamu,"
Fuck, aku lagi yang salah. Fine.
Sebelum semuanya terungkap, aku pernah membeberkan alasan-alasan anehnya kepada teman-temanku. Karena apa? Karena perasaanku sangat tidak enak dan semacam memiliki firasat bahwa ada yang tidak beres dengan hubunganku.
"Menurut kalian, Rio beneran ga sih ngasih alasan kaya gitu?"
"Dia jujur kok, kar, kayanya. Rio baik," kata salah seorang teman kuliahku.
Omongan itu yang aku pegang, yang aku yakini walaupun sejujurnya firasatku sangat sangat tidak enak. Sampai akhirnya aku melihat secara langsung dengan mata kepalaku sendiri, bahwa ada seseorang dibelakang kami berdua.
Dan ya, itu semua bukan hanya sekadar firasat.
Ketika aku pergi ke Bandung, kami tetap komunikasi melalui messenger, tapi keadaannya sama sekali tidak nyaman. Kami saling menyalahkan satu sama lain, bertengkar, dan berdebat tiada akhir.
Sudah kubilang Senin lalu bahwa aku belum yakin ia akan berjuang untukku. Nyatanya memang benar, selama ia masih kuliah, ia akan masih berurusan dengan perempuan itu. Tapi Jumat kemarin, aku hanya ingin berbuat baik, aku ingin menunjukkan bahwa aku masih menyayanginya, Dan sedang berusaha untuk tetap merangkulnya dengan memaafkan semua kesalahannya. Tetapi nampaknya, usahaku belum cukup, apabila dilihat dari apa yang kami debatkan saat itu.
Aku teringat percakapan antara aku dengannya ketika dirumahku,
"Dari awal aku bilang, kalau udah ga sayang, ngomong, bilang langsung ke aku. Bukan kaya gini caranya, dengan ngasih 1000 alasan yang beda-beda, yang bikin aku ngerasa jadi orang yang paling salah kemudian aku ngerasa ga pantes dan lebih milih mundur. Sementara kamu dibelakang kaya gini, ini lebih sakit tau. Kalau mau sama dia gapapa sama dia aja, dari dulu jg aku bilang kalo ada yg bikin kamu nyaman, yaudah. Kaya gini tuh kamu matiin aku pelan-pelan, tau ga, Rio?"
"Sama sekali bukan karena aku mau ngelepas kamu, Sekar. Tapi awalnya emang karna aku ngerasa kamu ga berperan banyak akhir-akhir ini sementara aku butuh kamu. Dan aku tau kamu lagi sibuk dan aku ga mau jadi beban buat kamu,"
Fuck, aku lagi yang salah. Fine.
Sebelum semuanya terungkap, aku pernah membeberkan alasan-alasan anehnya kepada teman-temanku. Karena apa? Karena perasaanku sangat tidak enak dan semacam memiliki firasat bahwa ada yang tidak beres dengan hubunganku.
"Menurut kalian, Rio beneran ga sih ngasih alasan kaya gitu?"
"Dia jujur kok, kar, kayanya. Rio baik," kata salah seorang teman kuliahku.
Omongan itu yang aku pegang, yang aku yakini walaupun sejujurnya firasatku sangat sangat tidak enak. Sampai akhirnya aku melihat secara langsung dengan mata kepalaku sendiri, bahwa ada seseorang dibelakang kami berdua.
Dan ya, itu semua bukan hanya sekadar firasat.
Setelahnya, aku menjalani hari-hariku seperti mati rasa. Aku punya pacar, tapi aku tidak tau apa yang ia lakukan dibelakangku karna sejujurnya aku sudah muak memergokinya. Ia tidak mau mengakhiri hubungannya denganku tapi juga tidak menyingkirkan perempuan itu dari hidupnya. Aku hanya bisa pasrah.
Oh, dan ya. Anniversary Oktober lalu, aku diberikan ini olehnya. Hasil karyanya sendiri. Ia bilang, "ini aku kasih sticky notes, kamu isi sesuka kamu aja yah nanti."
Dan 12 Desember lalu, sebelum aku mengetahui kenyataan pahit itu, aku menulis di sticky notes yang ia berikan.
Oh, dan ya. Anniversary Oktober lalu, aku diberikan ini olehnya. Hasil karyanya sendiri. Ia bilang, "ini aku kasih sticky notes, kamu isi sesuka kamu aja yah nanti."
Dan 12 Desember lalu, sebelum aku mengetahui kenyataan pahit itu, aku menulis di sticky notes yang ia berikan.
Cuma ini yang bisa kulakukan, bahkan, untuk bilang kepadanya apa yang aku rasa pun, sepertinya tak akan mungkin.
to be continued.
0 comments:
Post a Comment