Rabu, 4 Januari 2017.
Aku mengetik sms kepada seseorang, membalas pesannya, lebih tepatnya.
"Aku dikansas," kataku
"Loh iya? Kamu ga kerja?"
"Setengah hari, ada yang harus aku urus,"
"Aku boleh ketemu kamu nggak?"
Aku berpikir sebentar. Dan entah mengapa sulit sekali membalas "Nggak"
Akhirnya kubalas "Boleh,"
Tidak lama kemudian, seseorang datang menghampiriku yang sedang asyik mengetik di kantin fakultas, meneruskan skripsiku. Orang itu senyum-senyum tak karuan melihatku. Aku memilih memasang wajah serius. Bukan karena ingin serius, tetapi memang karena aku sedang serius mengerjakan skripsiku.
"Akhirnya bisa juga ditemuin," ungkapnya membuka pembicaraan. Aku hanya tersenyum tipis, kemudian menutup laptopku.
"Loh udah beres? Mau kemana?" katanya, lagi.
"Terserah. Aku sih udah bosen disini,"
"Makan?" tanyanya. Aku hanya menaikkan bahu.
"Hm, okee," katanya lagi.
"Kamu tentuin tempat," kataku.
Kami berjalan-lebih-tepatnya-naik-motor menyusuri jalan Margonda. Pilihannya jatuh kepada salah satu rumah makan di jalan raya Margonda. Aku menurut saja.
Sesampainya dirumah makan tersebut, kami langsung masuk. Ia mengenggam tanganku, tapi aku menolaknya.
"Kaya orang pacaran aja," kataku.
Pukul 20.00. Ia mengantarku pulang.
"Kamu ngapain masih ngejar aku? Bukannya katanya kamu udah ga bisa sama aku?" tanyaku
"Emang selama aku belum bisa menyamai kamu, aku ga bisa sama kamu, Sekar. Bahkan sekarang juga,"
"Tapi dengan cara ini, cara satu-satunya agar aku bisa ngejangkau kamu. Aku bisa tau kalo kamu ga kemana-mana,"
Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Toh aku tidak mau mengerti. Karena sebenarnya, aku belum mau kembali kepadanya.
Tapi jujur, ketika bersamanya, aku seakan lupa akan apa yang terjadi diantara kami. Tidak hanya itu, aku lupa akan semua masalahku. Ia seperti menjadi obat tersendiri bagiku. Obat bahagia. Terbukti, ketika pulang, sikapku tidak sedingin ketika kami pertama kali bertemu tadi sore.
"Jumat aku jemput ya, jangan nolak,"
Aku hanya menaikkan alis. Sudah berani dia, rupanya.
Jumat, 6 Januari 2017. Pukul 17.00
Benar saja, dia sudah bertengger didepan kantorku.
"Mbak Sekar, ya" katanya, menirukan gaya bicara ojek online. Aku cuma tersenyum.
Bersamanya, untuk pertama kali, kami membelah kemacetan ibukota melalui jalan HR. Rasuna Said-Mampang-Pejaten-Cilandak. Ajaibnya, kemacetan tidak terasa membosankan karena obat bahagiaku bekerja.
"Lebih enak kan daripada kamu harus sempit-sempitan kayak teri di kereta laknat itu,"
"Heh, gitu-gitu aku bakal sampe lebih cepet,"
"Pegel kali berdiri,"
"Mendingan berdiri tapi gerak daripada duduk tapi stuck," begitulah kira-kira perdebatan kami selama diperjalanan. Bukan perdebatan serius, tentunya.
"Laper ga?" tanyanya
"Lumayan,"
"Yuk makan,"
Akhirnya kami berhenti di Mall Cilandak dan makan di salah satu restoran fast food disana.
Kami makan dengan damai, sampai akhirnya, Handphone Rio menyala karena ada chat. Dari perempuan haram jadah itu. Isinya: lagi apa? Jeder. Mau mati ya kalian ini?
"Ada yang kangen tuh," kataku karena yang di chat belum menyadari ada chat di handphonenya. Aku bersikap sesantai mungkin karena memang sudah bukan urusanku lagi, tapi, hari ini dia menjemputku. Aneh kan? Aku lebih memilih diam tanpa berkomentar.
"Sekar, kamu besok-besok udah ga mau ketemu aku lagi ya?"
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Cukup bagiku melihat apa yang terjadi hari ini, bahwa lagi-lagi, ia belum berubah, bahkan ketika kupikir ia sedang berusaha mendapatkanku kembali.
"Jangan gitu dong Sekar,"
"Wah, gila ya. Aku ga bisa dikasih yang abu-abu macem gini,"
"Aku udah mau nyudahin ini, tapi belum ada waktu yang tepat aja,"
"Terus kapan yang tepat tuh? Capek ya aku denger omongan kamu, semuanya cuma ada di awang-awang. Nyesel banget aku kemaren ketemu kamu, dan hari ini juga,"
"Aku mau ngapain aja dan terserah kamu mau ngapain, tapi jangan pergi,"
"Liat dong hp kamu, boleh?"
"Boleh,"
Kemudian aku melihat handphonenya. Lagi-lagi, sejak aku memutuskan hubungan secara sepihak itu, sampai hari ini, ia masih berkomunikasi dengan si kerudung dusta itu. Tetapi, nampak disini Rio malas-malasan menanggapi chatnya. Memang dasar perempuan itu, belum kapok. Aku mengetik di tab chatnya, membalas chat dari perempuan itu.
"Hai ****:)
kangen ya sama Rio?
Sebel ya hari ini ga diajak jalan?
Kalo jalan sekarang mau ga?"
Perempuan itu membalas dengan cuek, nampaknya ia mengetahui bahwa aku yang sedang memegang kendali. Kubalas lagi
"Hm sok jutek
Enak tuh foto nyender-nyender
ntaplah,"
Aku menyindir karena tidak sengaja melihat foto mereka berdua ketika pameran dan sebalnya, mereka sangat dekat. Selain itu, si kerdus itu juga pernah mengirim foto selfienya tanpa kerudung. Ewhhhhh dimana kodratmu wahai mbak.
Setelah muak, aku mengembalikan handphone itu kepada pemiliknya.
"Aku mau ngomong sama dia dong," kataku
"Ga bakal diangkat, Sekar, takut dia sama kamu,"
"Coba dulu,"
Rio menurut. Ia menelepon perempuan itu dan benar, tidak diangkat. Haha cupu.
"Tuhkan bener,"
"Yaudah aku mau ngomong bertiga,"
Kali ini, Rio yang menolak.
"Buat apa? Aku udah gamau ada urusan lagi sama dia,"
"Ya buat ngelurusin semuanya lah, aku masih digentayangi rasa takut tau, kaya hari ini aja,"
"Yaudah, aku coba ngomong ya sama dia,"
"Aku mau hari minggu," kataku.
Rio kemudian memulai pembicaraan dengan perempuan itu dan mengetik sendiri: bahwa ia tidak mau lagi berbuat jahat, di tab chatnya dengan perempuan itu. Aku tidak tahu apa ia kemudian membujuk perempuan itu untuk dapat bicara bertiga denganku juga atau tidak.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan kemudian, karena aku sudah pulang.
Minggu, 8 Januari 2017.
"Mana? Berani ga dia?"
"Dia maunya kemaren ngomongnya di Museum. Aku kan ga Museum, males, banyak orang, dan orang-orang itu ngebelain dia semua,"
"Mana coba liat handphone kamu,"
Rio memberikan handphonenya. Pasca ia mengirim pesan itu kepada si perempuan itu, kemudiannya mereka berdebat, isinya sih, perempuan itu marah-marah karena Rio memilih untuk meninggalkannya.
"Kalau Sekar mau, suruh dia chat aku langsung, baik-baik" kata perempuan itu, didalam chatnya.
LAH, maaf beribu maaf yaa, tapi yang seharusnya minta maaf duluan siapa? Yang membuatku tidak bisa menanggapinya baik-baik siapa? Lagipula jumat lalu, ia tidak mengangkat telepon kami. Aneh luar biasa perempuan itu.
"Sekar harus tau, waktu itu kamu ngomong ke aku kalo kamu udah ga bisa sama dia, dan kamu cuma kasian sama dia," katanya lagi, masih didalam chat perdebatan itu.
IYAAAA MBAAAK SAYA UDAH TAHU. Bahkan saya udah sadar diri, bahkan saya udah mundur, tapi laki-laki ini masih aja narik-narik saya. Jadi saya harus bagaimana to, mbak tegal cantik?
Akhirnya chat itu ditutup dengan,
"Aku mau ngomong di Museum." ajak perempuan itu, yang ditolak oleh Rio
"Kan udah ngomong semalem."
Telak. Mereka tidak melanjutkan chat.
Kemudiannya, sedikit demi sedikit kami kembali ke jalur kami. Jalur kami yang seharusnya. Walaupun masih sangat sulit bagiku untuk tidak merasa dihantui oleh bayang-bayang masa lalu. Tetapi, Rio terus-menerus meyakinkanku.
"Aku yakin banget, selepas kemarin, aku bakal dijauhin anak-anak seangkatan. Aku gatau bakal kayak gimana nanti aku dikelas. Entah dikucilin, entah didiemin, tapi ini yang aku pilih, Sekar. Aku bisa aja ninggalin kamu, gampang banget malah karena kamu udah ga pernah dikampus, tapi aku masih memilih kamu. Aku terima semua resiko ini, buat apa? Buat kamu, buat ga ngekhianatin kamu lagi. Aku ga peduli mereka mau liat aku kaya gimana, mau nilai aku jahat terserah, yang penting buat aku, kamu aman, kuliah aku aman, aku bisa lulus dan menyamai kamu. Jangan takut lagi ya, Sekar."
Aku terenyuh tiap mendengarnya bicara seperti itu. It really really make sense dan sedikit banyak ia membuktikan bahwa ia benar-benar ingin aku kembali percaya.
to be continued.
Epilog
"Ih! Kan kita udah putus tau,"
"Kata siapa?"
"Kata aku,"
"Kamu doang, aku engga. Orang kita ga pernah putus wlekk."
"Aku kan bukan pacar kamu,"
"Iya bukan. Kamu calon istri aku."
0 comments:
Post a Comment